Rabu, 12 Oktober 2011

Sebuah Apresiasi...

Tentang Happy Salma

Nama saya Happy Salma.
Dalam bahasa Inggris, Happy berarti “bahagia.” Sementara “Salma” diambil Bapak saya dari nama seorang putri di Kalimantan yang pada zaman Belanda diungsikan ke tempat yang jauh dari asal-usulnya, tapi dia bisa bertahan hidup. Maka, Happy Salma menurut Bapak saya, adalah wanita yang selalu berbahagia dengan keselamatan yang senantiasa menyertainya. Almarhum Bapak saya, Dachlan Suhendara dan ibunda Iis Rohaeni lah yang memberikan nama indah itu bagi saya.

Saya anak keempat dari enam bersaudara. Dan yang menarik adalah, karena saya tidak sabar ingin melihat dunia, saya satu-satunya anak orangtua saya yang lahir di rumah. Saya lahir di sebuah rumah yang hangat di daerah Karang Tengah, Cibadak, Sukabumi. Saya dibesarkan di kampung halaman tercinta itu sampai usia 17 tahun. Masa kecil saya adalah masa yang membahagiakan. Walaupun saya berasal dari keluarga sederhana, tapi kedua orangtua saya gemar menciptakan kesenangan. Dari kecil saya anak yang aktif dan lincah. Tampil berpuisi, menari, hingga cerdas cermat. Tidak ada rasa rendah diri dalam diri saya, karena dukungan selalu datang dari orang-orang terkasih.

Ketika saya berusia 15 tahun─tepatnya pada tahun 1995─secara tidak sengaja saya menemani Kakak yang kebetulan menjadi wakil Jawa Barat untuk mengikuti ajang Putri Indonesia. Saya ikut difoto dengan film yang masih tersisa. Alhasil, foto tersebut saya kirimkan ke majalah Gadis, majalah yang waktu itu sedang digandrungi remaja-remaja seusia saya. Tak ada keinginan pasti apakah saya ingin menjadi model. Hanya saja, setiap membaca pengalaman-pengalaman para finalis yang setiap tahun terpilih, sepertinya sangat menyenangkan. Maka, ketika saya terpilih menjadi finalis dari ribuan peserta, saya begitu girang, meski kemudian saya merasa tertekan, karena menjadi model ternyata bukan perkara mudah. Selain harus selalu tampil cantik juga harus pintar bergaya. Sementara saya sendiri merasa tidak punya keduanya, hingga kegiatan modeling tidak terlalu saya tekuni.

Bersama teman-teman sekolah, saya malah membentuk band bernama Fla. Selain itu, sesekali saya ikut menjadi anggota band Kakak laki-laki saya yang beraliran metal. Kerrang, nama band-nya. Bersama Kerrang saya kerap ikut manggung, hingga suatu hari ketika saya manggung di Bandung, tepatnya di pesta pelajar, saya diperkenalkan pada seorang personil band yang sedang ngetop pada masa itu, u–camp. Kang Eri, namanya. Dengan penuh kejutan, dia mengajak saya rekaman. Dan, saya yang suka petualangan ini tentulah segera mengiyakan ajakan itu. Pada usia 17 tahun, saya masuk dapur rekaman.

Tak lama berselang, seniman dan musisi Frangky Sahilatua, rekan Kang Eri, mengambil-alih untuk memproduseri saya. Video klip saya ditayangkan di beberapa stasiun tv swasta, tapi album “Tapi Kini’ terbengkalai di tengah jalan karena ada masalah internal dengan Label. Saya belum sempat kecewa, Mas Frangky Sahilatua sudah menawari saya bermain sinetron yang diproduksi oleh temannya. Tawaran itu saya terima. Di ujung tahun 1998 saya bermain sinetron berjudul “Kupu-Kupu Ungu,” dan setelah itu semua berjalan begitu cepat dan lancar. Tak henti-henti, sinetron, film, presenter, iklan, menjadi bagian dari hidup saya selama bertahun-tahun.

Hingga awal tahun 2006 ketika saya mengalami krisis dalam pencarian jati diri, ketika dunia selebritas ternyata membuat saya merasa sepi, saya melarikan diri pada dunia sunyi, dunia menulis. Sebenarnya menulis sudah menjadi kegemaran saya sejak kecil. Saya rajin mengisi buku harian sampai membuat majalah sendiri dan juga gemar membuat cerpen. Tapi tentu pada masa itu kebiasaan menulis hanya untuk bersenang-senang. Lalu, ketika ada keinginan melahirkan sebuah buku, perjuangan baru pun dimulai kembali.

Di sela-sela jadwal shooting yang padat, saya mulai mengumpulkan naskah-naskah yang berceceran, dan setelah itu saya kirimkan pada penerbit.

Banyak orang bilang, betapa gampangnya para selebritis memulai profesi baru, saya tegaskan: itu salah besar! Tantangannya tak kalah rumit. Namun, kecintaan saya pada dunia sastra begitu tinggi, begitu mendalam. Pembentukan karakter dalam sebuah karya sastra, saya percayai dapat menjadi penyeimbang bagi pribadi yang kreatif, punya empati, dan memiliki jati diri. Maka, walaupun naskah saya sempat ditolak oleh sebuah penerbit yang menganggap tulisan saya kurang sensasional, itu tidak membuat saya putus asa. Terus berlatih menulis menjadi rutinitas saya di luar pekerjaan.

Pada pertengahan 2006 saya bertemu Rieke Diah Pitaloka. Kepadanya saya berkeluh kesah soal minimnya ketertarikan generasi muda pada dunia sastra. Dari hasil diskusi itu dia bersama suaminya mendirikan penerbitan yang bergerak di bidang sastra dan buku-buku ilmiah.

Atas dasar cita-cita yang sama, untuk menggeliatkan kembali dunia sastra, tulis-menulis juga dunia membaca, maka penerbit Koekoesan milik Rieke Diah Pitaloka meluncurkan buku pertama saya berjudul Pulang (kumpulan cerpen, 2006). Saya mengakui bahwa karya-karya besar sastra Indonesia banyak memengaruhi cara pandang saya, bahkan saya berani menggeluti dunia panggung teater juga karena kecintaan saya pada karya-karya tersebut. Saya pernah mementaskan lakon Nyai Ontosoroh─diadaptasi dari novel Bumi Manusia, karya Pramodya Ananta Toer─dan setelah itu lakon Ronggeng Dukuh Paruk─adaptasi novel karya Ahmad Tohari. Kurang lebih dua tahun waktu saya banyak tersita untuk kegiatan-kegiatan seni non-komersil, seperti pameran foto, teater dan keliling sastra ke sekolah-sekolah dan universitas. Semenjak itu pula, bersama sahabat saya Yulia EB, Kami mendirikan sebuah lembaga yang diberi nama Titimangsa Foundation untuk mengorganisir segala bentuk kegiatan-kegiatan sosial dan seni. Nama itu diberikan oleh almarhum Bapak saya, yang berarti ”tepat pada waktunya.”

Pada akhir tahun 2006 itu hidup saya terasa lebih seimbang, dunia idealisme dan dunia komersial berjalan seiring. Saya masih bermain sinetron, meski tak sesering dulu. Bermain film atau menjadi bintang tamu acara komedi sesekali masih saya lakoni bersamaan dengan pembacaan puisi, seminar-seminar tentang isu perempuan, politik, dan budaya.

Saya terharu, waktu berlari begitu cepat. Kini, ketika usia saya menginjak 30 tahun, hiruk-pikuk dunia selebritas selalu menjadi cahaya bagi saya, walaupun kadang-kadang menyilaukan dan membuat saya harus menepi dulu barang sebentar. Namun, dunia seni itu sendiri sudah terlanjur merasuk ke dalam relung jiwa saya, dan saya tidak bisa lagi meninggalkannya.

-
*Happy Salma, meraih penghargaan 5 besar penulis muda berbakat khatulistiwa awards (2007)

Dirangkum dari situs Happy Salma : http://happy-salma.net/?cat=7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar